Rabu, 24 November 2010

CERPEN _ MILTO

Rambutnya yang pirang, hidungnya yang mancung, dan tipis bibirnya serta kulitnya yang kuning langsat, memang itu ciri yang menjadikan cantik wajah Geralda. Dan lelaki siapa yang tidak meliriknya, ketika Geralda lewat di depannya sedang mentari pagi memantulkan cantik paras Geralda, seolah menyilaukan mata. Geralda, gadis cantik yang selalu tampil menawan rasa itu kini tinggal di kamp pengungsian.
Bila mentari menampakkan wajahnya di pagi yang cerah, Geralda akan segera mengenang Timor Loro Sa’e, Timor matahari terbit. Bagi Geralda, mengenang Timor Leste sama saja dengan mengenang Maliana. Di sana di Maliana, ia teringat akan sebuah kota kecil yang terletak sepi di kaki gunung Railaku, tempat pasukan Fretelin bersembunyi di tempo dulu. Ia pun terkenang akan para guru dan teman-temannya yang setiap saat memilih memancing di pinggiran sawah si petani tua.
“Umpan dibuang ke dalam air dan ‘praaak’ seekor gabus tergantung lemas, meronta-ronta di ujung mata kail”, kenang Geralda, “itu terjadi ketika seorang teman sedang memancing dan aku lewat, pergi mencari sayur kangkung”.
Lanjut Geralda dalam hatinya sambil terus memandang mentari pagi di indahnya awal hari itu,
“dan teman itu kembali melepaskan umpan sambil bernyanyi kecil dan kudengar syair yang aneh itu ‘Geralda… Geralda… Geralda bonita tebes’.2 Tetapi aku terus melangkah tak hendak melihat apalagi mencari tahu orang yang menyanyikan syair aneh itu. Aku terus melangkah. Ketika sudah sedikit jarak dan aku yakin orang itu tidak lagi melihat ke arahku, maka aku menoleh sekedar melihat siapa-siapa yang memancing di sore itu. Saat kujatuhkan pandangan ke tempat itu ternyata dia adalah Jose yang juga memandangku dengan senyum nakalnya. Sekarang aku tahu, dia adalah Jose yang pernah menyatakan cintanya padaku. Akhirnya, dengan wajah malu-malu aku terus melangkah…”
Memang Geralda tak sudi melepaskan goresan asmara di sore yang tenang itu. Ia tak akan pernah membiarkan kenangan itu pergi bersama mentari. Biar mentari berlalu dan cintanya pada Jose tetap lestari.
Pagi itu pun berlalu dan Geralda kembali bergabung dengan keluarganya dalam kesibukan harian mereka. Apa adanya. Yang penting merasa bahagia sekalipun tinggal di kamp pengungsian. Terkadang Geralda bergabung dengan tetangganya yang sibuk menyiapkan bedeng buat menanam sayur. Sedangkan di sore hari ia giat berlatih bersama teman-teman sebuah klub voli. Apalagi mereka mendapat undangan untuk sebuah pertandingan rekonsiliasi di Maliana-Timor Leste. Sebuah kesempatan yang sejak lama ia nantikan. Tentunya latihan terus digiatkan setiap sore karena saat untuk berangkat ke Timor Leste tinggal seminggu lagi. Geralda memang model pemain yang selalu tampil menawan rasa. Bukan hanya cantik di wajahnya tetapi terlebih karena gaya smashingnya yang selalu memukau dan memikat hati para penonton. Alasan ini pun telah membuat dia tidak ragu-ragu tampil sebagai smasher andalan dalam tim itu. Sekalipun demikian ia tak pernah meremehkan teman-temannya. Dan untuk itu teman-temannya telah mempercayakan dia sebagai kapten tim dalam pertandingan mendatang di Timor Leste.
Untuk semuanya itu Geralda pun berharap ia dapat memberikan yang terbaik untuk timnya dan terutama saat tampil nanti, teman-temannya yang di Timor Leste boleh merasa bangga karena tampilannya yang unik. Lalu seluruh harapan dan latihannya sudah pasti akan dicurahkan untuk Jose, orang yang paling ia cintai.
Tentu saja Jose pun telah lama menanti kedatangan Geralda, orang yang sangat ia rindukan semenjak perang telah memisahkan mereka. Kabar itu pun telah membuat Jose seminggu terakhir merasakan betapa lamanya waktu bergulir. Lamanya tempo ini pun tak ubahnya dengan orang-orang Timor Leste menantikan sebuah hari kemerdekaan selama dua puluh empat tahun.
Namun bagaimana pun juga saat itu pun sudah dekat. Semua urusan mengenai dokumen perjalanan tim sudah selesai. Tim voli puteri dan putera, lalu tim bola kaki dan basket. Semuanya sudah beres. Semua urusan berjalan lancar. Tanpa hambatan. Apalagi perjalanan ini memiliki tujuan yang unik yakni sebuah misi rekonsiliasi.
Derap langkah sang waktu selalu pasti, pasti berlangkah dari siang menuju malam dan dari malam kembali ke siang. Saat yang dinantikan itu pun sudah di ambang pintu. Sehari sebelum jatuh tempo untuk perjalanan ke Timor Leste. Geralda tepat bangun sebelum matahari terbit. Hari masih samar-samar ketika ia membuka jendela kamarnya dan setia menanti terbitnya mentari di hari yang baru itu. Sebuah awal hari baru disambut dengan sebuah kebiasaan lama. Menanti mentari sambil mengenang kisah kasih di bumi Loro Sa’e bukanlah sebuah pekerjaan yang sulit dan membosankan Geralda. Dia bermaksud memberi tempat pertama buat Jose di setiap awal hari baru. Cintanya pada Jose cukup sederhana bahkan sederhana sesederhananya tempat pengungsian yang ia diami itu. Namun cintanya pada Jose setulus dan setotal mentari yang menyinari semesta jagat.
Kini kembali Geralda menanti dan persis di terbitnya sang surya hari itu, ia tenggelam dalam kisah indah bersama Jose di pematang sawah, tempat para tukang pancing berdiri sambil membuang umpan. Di sinilah tempatnya Jose dan Geralda. Di sini juga tempat Jose pernah memancing cinta Geralda yang rumahnya tak jauh dari tempat pancing Jose dan kawan-kawannya.
“Kisah kasih di senja tak berawan. Mentari bersembunyi di bukit kecil di ujung barat bentangan sawah si petani tua. Anak-anak gembala masih dalam perjalanan pulang dari padang. Sinar mentari hampir tak kelihatan lagi. Hanya puncak Railaku yang selalu mendapat sinar terakhir di kota kecil itu. Sebuah lumbung aluminium peninggalan Portugis pun masih sempat memantulkan sinar mentari di sore itu. Sedang ilalang di antara padi petani sesekali menjamah lembut montok betis Geralda, karena memang hembusan angin sore yang menggerakkannya. Jose berdiri di samping Geralda, menggenggam erat lembut jemari kekasihnya. Di sana sekumpulan burung pipit terbang menuju sarangnya di ujung serumpun bambu dekat pondok petani tua.
Sepi di senja itu menyapa Jose dan Geralda , ‘boa tarde!!,3 ikan gabus menghabiskan umpan. Jose tak menghiraukannya karena yang dipancing itu cinta Geralda bukan ikan gabusnya. Hari sudah samar-samar. Bila di sana tidak lagi ada para petani dan tukang pancing, bibir Jose mengalir tak sabar dalam desahan napas yang tak terkendali, lalu bermuara di tipis bibir Geralda. Sedangkan jemarinya tak henti membelai pirang rambut Geralda. Geralda membiarkan semuanya terjadi dan aliran itu melaju dalam pasrahnya tubuh yang menerima sengatan tidak sopan itu. Geralda merasakan getaran yang mengguncang sekujur tubuhnya. Dan Jose pun tak ubahnya dengan bocah yang terlena dalam buaian.
Bila gembala-gembala kecil itu lewat, sesekali Jose mengambil sikap hati-hati, biar si gembala kecil tidak tergoda oleh desahan-desahan tidak sabar itu…dan semuanya berakhir di ujung hari itu. Jose mengantar Geralda kembali ke rumahnya dan selesailah kisah itu ketika perang harus membagi cinta mereka..…”
Kemesraan itu yang tak sudi Geralda lupakan. Banjir kenangan mengalir bersama hamburan sinar mentari ketika pagi sudah merekah. Mentari terus dipandangnya di pagi hari itu, dan wajah tampan Jose membayang terang di lembutnya sinar surya. Ketika ia sesekali menoleh ke samping, di bias sinar mentari pada selembar daun talas, nampak seolah Jose datang dari Timor matahari terbit. Hadir Jose dalam bias-bias itu seolah membawa kabar buat Geralda, “…datanglah Geraldaku sayang, sejak lama aku telah menanti kamu di kota kecil tempat kita di kaki gunung. Bergegaslah dan biarlah kita mengulang kisah di pematang sawah petani tua.”
Dan siapa yang sanggup membendung guliran sang waktu. Sekalipun bagi orang-orang yang bercinta, waktu adalah keabadian, toh laju sang waktu itu pasti, seperti hari berlalu dan pasti malam pun tiba. Lalu hari impian itu datang menyapa orang-orang yang masih lelap dalam tidurnya. Pun ia menyapa Geralda yang apa adanya, yang saat ini begitu ceria dan brilian karena hari impian itu telah datang dalam terang perjalanan menuju Timor Leste. Sebuah hari masih pagi ketika sebuah bus melaju menuju frontíera4 Mota Ain. Betapa cerianya wajah Geralda dan rasanya perjalanan ini indah sekali. Teman-temannya pada senang, rupanya mereka juga tahu keadaan hati kapten tim mereka. Sesekali mereka menyapa Geralda begitu ramah.

“Geralda, kamu pasti senang karena kamu akan melihat lagi wajah kotamu sesudah berpisah cukup lama…”
Geralda menyambut semuanya dengan senyum manis dan katanya, “ya, tentu saja. Tetapi saya sendiri tidak tahu, apakah kota kecil di kaki gunung itu, wajahnya masih seperti yang dulu. Saya harap masih seperti yang pernah ada. Entah baik atau buruk kita akan menyaksikannya bersama.”
Bus itu pun terus melaju dan cerita mereka hanya seputar wajah Maliana di tempo dulu. Apakah masih seperti yang dulu? Itu hanya Geralda yang meragukannya, karena memang dalam tim itu Geralda sendiri yang berdarah Timor Leste dan sejak lahir ia dan keluarganya tinggal di Maliana, kota kecil di kaki gunung itu.
Cerita tentang orang-orang kecintaannya berakhir. Saat ini kecepatan bus menurun dan mereka pun tiba di Frontiera Mota Ain, di sebuah perbatasan yang telah dibangun untuk memisahkan orang-orang yang pernah mencintai dan pernah saling mencintai. Sebuah zona yang dibangun untuk menjaga keamanan lalulintas orang-orang yang pernah saling menyapa sebagai yang mencintai dan yang dicintai. Sebuah pilar sudah dicipta untuk memberi pemisahan bagi orang-orang yang pernah saling menyapa sebagai saudara. Alasan itu pun telah membuat Geralda sejak lama merasa jauh… jauh dari kampung halamannya, kota kecil di kaki gunung, tempat lindung orang-orang yang pernah bertikai. Dan sekarang Geralda berserta teman-temannya berada di zona yang disebut perbatasan itu.
Beberapa temannya sudah melintas segera sesudah namanya dipanggil, diperiksa dan diizinkan oleh polisi perbatasan untuk melintas.
Geralda masih menanti gilirannya. Semua teman setimnya sudah melintas. Geralda tampaknya biasa saja karena dia yakin pasti akan tiba di Maliana.

“Geralda Martinz Pareira…”, panggilan itu adalah panggilan terakhir untuk tim Voli putri yang akan melintas. Segera Geralda berlangkah menuju pos itu. Tenang. Diam. Tanpa kata terucap. Menatap polisi berbadan kekar, berkulit sawo matang, berperawakan tinggi, berambut keriting halus. Rupanya ia tentara PBB asal Fiji yang masih berkarya untuk Timor Leste. Lalu tiba-tiba seorang Civil Police maju berhadapan dengan Geralda.
Geralda tidak percaya dengan keadaan ini. Sedangkan teman-temannya masih menanti dia di zona Timor Leste. “Ada apa?”, tiba-tiba tanya Geralda dalam hatinya. Dan civil police itu mulai berbicara sesudah diam sedikit lama,
“Minta maaf saudari Geralda…”, sambungnya dengan nada sedikit kasar, “saudari tidak diizinkan untuk memasuki zona Timor Leste. Yahhh…, saudari tidak diizinkan. Ini demi keselamatan dan keamanan diri saudari. Dan karena alasan itu saudari sama sekali tidak punya hak untuk melangkahi wilayah frontiera ini.”
Geralda seolah tidak percaya dengan kata-kata ini, tetapi tubuhnya berkeringat dingin.
“Sekarang saudari boleh kembali…” Perintah civil police itu dengan suaranya yang seolah mengusir.
“Kembali? Tidak mungkin, pak. Saya kan kapten tim yang akan bermain untuk misi rekonsialiasi itu. Dan yang paling utama, mengapa saya tidak diizinkan memasuki negeriku sendiri? Bukankah saya berhak memperoleh izin untuk memasuki negeriku sendiri?”
“Tidak… sekali lagi tidak. Anda bukanlah orang yang layak menyebut Timor Leste sebagai negerinya. Sekali lagi anda bukanlah orangnya. Kalau kamu ingin selamat, sebaiknya saudari membatalkan perjalanan ini sebelum terjadi sesuatu yang tidak kita inginkan pada perjalanan tim ini dan terutama pada dirimu sendiri.”
Geralda diam seribu bahasa. Berat untuk membantah, karena ia tahu keadaan itu. Lalu dalam diam ia kembali, tapi hatinya hancur sejadi-jadinya. Langkahnya berat dan memang berat ketika ia harus membalikkan tubuhnya dan membelakangi negerinya. Ia tak sanggup menerima begitu saja situasi awal kemerdekaan Timor Leste yang masih diwarnai pro dan kontra. Memang nama dan identitas tertentu menjadi buruan orang-orang yang masih menyimpan dendam. Langkahnya berat sekali ketika ia menoleh dan melihat kawan-kawan setimnya melaju menuju kotanya dan dia terpaksa menahan luka di hatinya karena tidak diizinkan memasuki negerinya sendiri. Ia sempat menatap kepergian ketujuh temannya yang dijemput secara meriah dengan sejumlah mobil buatan Australia. Mereka melaju menuju kota kecil di kaki gunung itu. Sedangkan Geralda dihantar pulang dengan sebuah Kijang kembali ke kediamannya di kamp pengungsian.
Sepanjang jalan perpisahan dengan teman-teman setimnya. Tubuh Geralda terus berkeringat. Hati Geralda hancur sehancur-hancurnya. Air matanya menetes dalam tak sadarnya membasahi pipi. Bagaimana mungkin ia tidak diizinkan memasuki negerinya sendiri. Wajah Geralda memang tidak brilian lagi. Hanya dalam sekejap keceriaan yang ia bangun selama ini berubah menjadi air mata kesedihan. Raga yang ia olah selama ini berubah menjadi tubuh yang sakit.
Satu yang masih hangat di memorinya adalah kisah kasih di pematang sawah petani tua. Tapi apa arti semuanya itu. Ia tak sadarkan diri, sekalipun Kijang itu terus melaju di pesisir sebuah pantai berpasir putih. Geralda terus saja hanyut dalam luka di hatinya…
Ia tak berdaya menahan derai air matanya. Betapa sakit luka di hatinya, manakala ia terkenang oleh masa kanak-kanaknya di negeri kecintaannya. Dan memang hati siapa yang tidak tersayat, bila ia memandang kotanya hanya dalam impian. Sedangkan ia ingin pergi ke kota itu dan orang-orang telah menyembunyikan jalan ke negeri tempat ia lahir dan dibesarkan. Geralda masih tetap mencari jalan itu sambil terus menghambur duka. Dan lihatlah, sebuah generasi lenyap ditelan peluru dan sebuah generasi lagi lahir persis di hadapan sebuah pilar pemisah. Kijang itu terus melaju dan akhirnya Geralda tiba di kamp pengungsian dengan wajah pucatnya, disambut ayah dan budanya serta saudara-saudarinya dan semua tetangganya dengan wajah heran dan bingung. Tak sepatah pun kata yang diucapkannya, kecuali barisan ini,
“Mama… saya tidak diizinkan untuk memasuki negeriku dan negeri kita semua.”
Dan saat itu, Geralda pun kembali meneteskan air matanya di hadapan semua orang yang datang menjemputnya. Hatinya gundah-gulana dalam tangisan meratapi negeri Loro Sa’e, tempat ia pernah merasakan hidup penuh persaudaraan dengan orang-orang yang kini menyembunyikan jalan ke negeri itu baginya. Sungguh sakit luka di hati Geralda, si bonita yang amat merindukan negerinya itu. Bundanya yang menaruh rasa iba pada puterinya yang diperlakukan demikian turut meneteskan air matanya. Bundanya sedih dan hatinya luka tetapi Geraldalah orang yang paling sedih dan paling merasakan sakit di hatinya. Tetapi tangan siapa yang sanggup menumbangkan pilar di Frontiera yang telah dibangun dengan begitu kokohnya itu? Hanya cinta yang sanggup menghancurkannya bila orang-orang yang sedang bertikai bersedia menyadari bahwa mereka lahir dari satu bumi yang sama yakni bumi Loro Sa’e. Bahwa mereka lahir dari satu rahim yang sama yakni rahim Bumi Loro sa’e.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar