Sabtu, 25 Mei 2013

KARANGAN NARASI EKSPOSITORIS

Contoh karangan Narasi Ekspositoris Iiihhh..maluuuuu ?*%$#@&*^()%$^ haha Saat itu aku masih duduk di bangku kelas 2 SMK, dan umurku kira-kira 15 tahun. Kejadian ini telah aku alami sendiri saat aku mengikuti PRAKERIN (Praktek Kerja Industri ) di suatu Lembaga perbankan syariah yang ada di kota Tanjungpandan. Siang itu cuaca dirumahku tampak mendung dihiasi hujan gerimis. cuaca hari itu membuat ku enggan untuk kembali melanjutkan Prakerin. Entah mengapa terlintas di benakku untuk segera berangkat mumpung hujan belum begitu lebat. Ku kenakan jas hujan ku dengan terburu-buru. Ditengah perjalan tiba-tiba hujan begitu lebat mengguyur tubuhku, untung saja aku telah mengenakan jas hujanku sebagai pelindung,walau setengah rok yang kukenakan basah. Sesampainya aku di tempat Prakerin aku langsung masuk ke toilet untuk membenahi pakaian ku dan mengelap sepatu yang agak basah. Aku berjalan dengan hati-hati karena alas sepatu ku begitu licin karna basah ditambah lantai yang licin membuat ku berjalan dengan sangat susah karna harus menjaga keseimbangan agar tidak terpeleset . ternyata dugaan ku salah saat aku selesai menaiki anak tangga untuk sampai keruang atas,keseimbangan ku mulai goyah,dan aku pun,, gubraakkk, . aku terpeleset.. Aku sangat malu, semua mata yang ada di ruangan itu pun memperhatikan ku dengan wajah yang ingin tertawa geli melihat tingkah ku.. By : wilda marliza

Rabu, 02 Februari 2011

cerpen_romeo and juliet

Aku sudah siap-siap di pagi hari untuk berangkat ke sekolah demi cita-citaku ini. Sudah dandan setipis mungkin, bawa buku catatan sama kotak pensil. Soal tata baju? Aku tidak terlalu panik, karena aku tidak suka berpakaian super lebai. Cukup dengan kaos polos warna biru mudah dan jaket tipis putih, ditambah dengan celana jeans. Aku tidak akan lupa sama topi golf kesayanganku. Selalu jadi barang keberuntunganku dimana aku berada. Terdengar suara ketukan pintu, aku ngoleh ke arah pintu tersebut. “Juliet, sarapan sudah siap nih. Hari ini kita makan daging bacon sama telur rebus.” Sarapan favoritku kalau nginap di hotel berbintang. Aku keluar dari kamar, turun pakai tangga dan masuk ke dalam dapur. Yang ada hanya bokap nyokapnya Robert. Mereka sibuk makan sarapan yang tadi sudah dijanjikan. Nyokapnya Robert mandang aku dengan senyum ramahnya. “Sini, Juliet. Aku sudah bikin sarapan favoritmu, tinggal nunggu teh susumu.” Aku ngangguk dan duduk di meja makan. Begitu makan daging bacon, aku muji masakannya. Tidak heran kalau beliau kerja sebagai chef di restoran Italia. Beliau kasih aku secangkir teh susu yang masih hangat. Begitu selesai sarapan, kuminum teh susu pelan-pelan. Muncul di benakku, dimana Robert sekarang? Apa dia masih tertidur karena semalaman nonton opera? Aku buat perjanjian kalau aku akan nyebut mereka om dan tante. Bokap nyokap terlalu gaul untuk mereka yang tinggal di Perancis. Tante nyatakan ini sambil minum teh hijaunya. “Kalau ada sesuatu, bilang saja sama tante. Kami akan bantu kamu sebisa mungkin.” Itu buat aku malu sekaligus merasa sangat bersalah. Karena aku hanya numpang untuk tinggal di sini dalam beberapa tahun ini. Aku tidak akan ngerepotin mereka sebisa mungkin. Begitu pamit berangkat, aku panik mau naik apa untuk ke sekolah. Aku tidak tahu kendaraan umum di sini. Muncul taksi di depanku, dan Robert keluar dari dalamnya. “Aku tahu kau akan kerepotan untuk cari kendaraan. Ayo masuk!” Aku bergegas masuk ke dalam taksi. Selama perjalanan, aku dengar gimana Robert bisa jadikan taksi ini sebagai langgannya. Supir taksi juga kenal Robert dan janji bakal antarkan aku ke sekolah. Betapa baiknya mereka sebagai orang yang bisa kupercaya di negara ini. Aku tidak lagi mikirin cowok kemarin, yang pergi setelah ambil kucing kesayangan. Entah apa kucingnya kabur sekarang karena ketidak nyamanan yang kulihat kemarin. Aku ngalih padanganku ke arah jendela, lihat rumah-rumah yang sama versinya dengan rumah Robert. Juga orang-orang yang berjalan di pinggir jalan, dengan jaket tebalnya. Apa musim dingin mulai masuk ke negara? Kalau beneran iya, aku telah menjadi orang paling berbeda. Dalam hal negatif. Begitu tiba di depan gedung sekolah, aku keluar dari taksi dan pamitan sama Robert. Dia janji akan makan malam sama aku di rumah. Kebetulan, Jason ada acara malam ini. Aku naik tangga cepat-cepat dan masuk lewat pintu, sementara orang-orang di sekitarku tampak tenang. Sampai aku masuk ke dalam keramaian, seperti pasar malam. Aku desak-desakan sampai harus tahan nafas. Mereka tidak tahu ada cewek yang sudah mau pingsan karena sesak nafas. Terlihat sekilas, tangan seseorang tanganku dan ngeluarkanku dari lingkaran setan itu. “Makasih banget, sudah nyelamatin aku.” Begitu aku mandang wajahnya, dia bukan cowok kemarin. Lainkan cowok dengan potongan rambut pendek, dan senyum ramahnya. “Gak apa-apa kok... untung kau gak pingsan di sana terus keinjak-injak.” Aku tertawa, senderan dengan locker sekolah untuk mahasiswa. Cowok itu berhenti bicara dan tersenyum kecil, sekaligus ngulurkan tangannya padaku. “Aku Capulet, kau siapa?” Capulet? Salah satu keluarga Juliet di karya William Shakespeare? Apa nama itu hanya kebetulan? Aku dengan tenang berjabat tangan dengannya. “Aku... Juliet...” Capulet terlihat kaget, dengar namaku. Seolah namaku itu unik, dan langka untuk digunakan. “Capulet dan Juliet... kayak ditakdirkan sebagai ayah dan seorang putri.” Aku tersenyum, nertawai nama Capulet di dalam diri cowok itu. “Berarti, aku harus panggil kamu papa dong.” Kami berdua tertawa sekecil mungkin. Capulet dengan baik hati, ngantarkan aku ke ruang kepala sekolah. Aku cerita riwayat hidupku sampai hari pertama aku berada di Perancis. “Jadi, kau cewek berasal dari Singapura? Aku suka banget ke sana, apalagi kalau sama teman-teman sekelas.” Dia sudah berkali-kali terbang ke negara asalku hanya bersama teman-temanku, tanpa bokap nyokap di bayangannya. “Apa ada orang yang bernama... Romeo? Ini cuma ngira-ngira saja kok.” Capulet hilangkan senyumnya, seolah aku berkata sesuatu yang sedikit nyakitkan. “Kau pasti gak mau tahu apa orangnya ada atau gak.” Aku milih untuk diam, daripada bikin dia tidak nyaman denganku. Aku masuk ke dalam ruang kepala sekolah, ditinggal sama Capulet. Keberisikan kelas sudah naik ke tingkat tinggi, kayak orang lagi demo di depan gedung DPR. Bedanya, semua cewek pada berbaju bagus sampai terlalu berlebihan. Sedangkan cowok, ambul radul. Apalagi, rambutnya dibiarkan berantakan dan diikat pakai pita kecil. Namun, hanya satu cowok dengan rambut rapi dan wajahnya yang datar. Dia hanya melihat pemandangan. Tidak ada seorang yang menyapanya, seolah dirinya hanya angin berlalu. Sampai seorang cowok dengan gaya punknya hampiri dan pegang dahunya. Tahu, ini akan berlangsung tanpa hasil baik sedikit pun. “Kok kau diam? Bukan kau cowok di kelas ini?” Cowok punk tersebut hanya diam saja, dan siap-siap untuk sok puitis. “Aku itu Romeo yang lagi patah hati, dan butuh cinta sejati untuk sembuh. Atau aku akan terperangkap oleh kesedihan.” Cowok pendiam itu terganggu, apalagi namanya dimainkan. Dikait dengan kisah penuh tragis. Pemandangan jahat ini terputus begitu guru datang dengan bajunya yang sangat fashionable. Sudah jadi makanan buat cowok dengan mata keranjangnya. “Selamat pagi, anak-anak. Hari ini kita kedatangan murid baru dari Singapura. Kemarilah, nak.” Aku yang berada di lorong, gugup. Aku bukakan pintu dan masuk ke dalam kelas. Aku dengar semua kalimat puitis dari cowok punk tadi, dan itu bikin aku yakin. Aku akan dibikin malu oleh semua orang di kelas. Mandang semua murid dan tersenyum ceria, itu hal yang tersulit kulakukan sekarang. Yang paling kutakuti adalah reaksi begitu mereka tahu namaku. Romeo ada di kelas, dan aku akan dipasangkan untuk bahan olokan. “Aku... Juliet, pindahan dari Singapura. Aku mohon bantuan dari kalian.” Salah satu murid cowok hampiri Romeo yang berada di belakangnya. “Pasangan sejatimu datang tuh! Swit swit!” Semua pada sawutin Romeo dengan kata Swit swit yang sangat panjang. Aku kasihan padanya, namun tepukan tangan dari guru pecahkan keributan ini. “Sudah-sudah, ini bukan pasar. Juliet, kau duduk di...” Yang tersisa hanyalah tepat Romeo, dan itu terlihat oleh guru. “Kau duduk di sebelah... Romeo.” Aku jalan pelan-pelan, lewati orang-orang yang berbisik satu sama lain. Aku duduk dengan bernafas lega, dan tutup muka. Aku malu dengan situasi. Reinkarnasi pasangan dengan akhir cerita tragis, telah hadir di tempat ini. “Maaf...” Suara itu terdengar jelas di telingaku, melirik ke samping. Hanya Romeo yang melirikku dengan wajah nyesalnya. Begitu kuperhatikan wajahnya baik-baik, aku baru ingat dan sadar akan suatu hal. Romeo adalah cowok yang kemarin kulihat tiga kali. Kelas pengenalan soal perpanduan warna telah selesai, aku tidak tahu siapa yang bisa kuajak ngobrol. Apalagi, setelah keributan dan kenyataan yang kualami dalam beberapa saat ini. Aku bukannya tidak mau temenan sama Romeo, tapi aku ingin tahu sifatnya seperti apa. Sampai Capulet ketuk dinding dari luar dan ngejutkan aku. “Hei, Jul.” Aku tersenyum, keluar dari rasa canggungku sama Romeo. Aku hampiri dia dan jalan di lorong. “Tampaknya, kau habis tertekan. Apa karena... Romeo?” Aku tersipu malu, tahu sikapku tadi nunjukkin betapa aku tidak peduli padanya. Romeo di sini, sebagai cowok yang dingin dan malu. “Aku... butuh pengertian soal sekolah ini. Kau mau ngajak aku keliling?” Capulet seperti pemandu tur yang nunjukkin tempat penting yang akan kubutuhkan suatu saat nanti. Dia jelaskan dimana aku bisa temukan kantin, kelas-kelas lainnya dan toilet. Di sisi lain, aku kasihan sama Romeo. Di acara tur ini, dia tertangkap duduk di dekat jendela rumah. Tidak ada yang nemani dia. Capulet tidak perhatikan diriku saat mandang Romeo atau dia pura-pura lihat namun dia ngacuhkannya. Yang paling ganggu adalah pandangan orang di lorong. Mungkin pertemuan antar Juliet dan Capulet dibilang unik, dan akan ada kejadian di antara kami. Pikirnya mereka. “Sini...” Capulet ulurkan tangannya padaku, dan aku meraih tangannya. “Apa kau gak keganggu sama pandangan orang? Kita pakai nama dari kisah tragis loh. Aku kan putri yang dipaksa olehmu untuk nikah.” Capulet tersenyum genit, tanganku digenggam erat-erat. “Kau cewek lucu banget, pagi-pagi sudah bikin aku tertawa.” Aku sedikit goyah jalan dan hampir terjatuh. Untung, aku bisa jaga keseimbangan. Kita berdua ke kantin, dan semuanya... makanan Perancis. Walau ada sih... makanan Italia berupa lasagna dan macaroni, tapi badanku bisa tambah gendut. Capulet pecahkan kekhawatiran begitu lihat wajahku dan lihat. “Kau tunggu ya, aku tahu makanan pas buat cewek dari Singapura.” Genggam tangan kami terlepas dan dia pergi ngantri untuk beli makanan buat aku. Senang punya teman baru yang sangat pengertian seperti Capulet, ini akan mudahkan hari-hariku di sekolah ini. Meski, aku sudah jadi pusat perhatian berkat namaku dan dipasangkan sama Romeo. Kubalas senyum pada Capulet yang sempat tersenyum padaku di antrian. Romeo muncul secara tiba-tiba dan dia hanya lewati aku, sebal digituin. Karena nasihat dari Robert melambung di kepala, kupasang wajah tajam padanya. “Hai...” Romeo melihatku dengan tatapan dinginnya. Sepertinya, dia terganggu dengan sapaanku. “Gak usah sok ramah, kau.” Dia pergi cari tempat duduk untuk makan. Sumpah, kenapa tuh cowok? Bukannya hal wajar untuk nyampa orang sebagai tanda perkenalan? Romeo... kau seperti robot. Capulet datang dengan napan berisi makanan. Aku kaget lihat mangkuk berisi Tom Yam, ini makanan kesukaanku. “Kalau lidahmu gak cocok untuk Perancis, ini makanan pas untukmu.” Aku pegang napan tersebut, begitu tangan Capulet terlepas dari napan. “Kau gak ada janjian apa sama... teman-teman sekelas gitu?” Capulet tertawa sambil ambil kotak jus melon dari meja cashier. “Saking sering namaku diolok-olok, aku rada... gak nyaman.” Aku tersenyum kasihan padanya, pasti sulit untuk bertahan di sana. Tanpa teman yang bisa diajak untuk suka dan duka. “Berarti, kau pikir... kita senasib?” Capulet tidak jawab, lainkan pegang pinggangku dan bawa aku ke meja makannya. Kami duduk di dekat jendela, perlihatkan wajah Perancis yang sangat indah ini. Memang kuakui Singapura juga indah, tapi ini jauh lebih indah. Tapi, kalimat dingin dari Romeo tidak bisa bikin aku tersenyum lebar. Capulet asyik makan hamburger porsi besar dan segelas coca cola, tanpa ngobrol apa-apa sama aku. Apa aku sebaiknya bertanya, siapa Romeo itu? Daripada aku penasaran sendiri, dan lakukan hal nekat. “Romeo itu orangnya kayak gimana?” Capulet berhenti ngunyah makannya, dan dia tersedak. Dia bergegas minum coca colanya dan ngeluarkan suara “Aaah..” begitu mulutnya terbuka. Aku berusaha mikirkan kalimat untuk akhiri ketidak enakan dari dirinya. “Janji... aku gak bakal ngobrolin ini di depanmu.” Capulet secara spesifik jelaskan seperti apa... siapa Romeo itu. Romeo adalah cowok paling pendiam dari seluruh cowok di sekolah ini. Beda dari Romeo yang penuh karimastik dan gairah. Dia diberitakan berasal dari keluarga mafia tuh deh... karena banyak perusahaan yang bangkrut. Perusahaan bokap nyokapnya bagaikan monster raksasa, tidak ada yang bisa ngalahkan kekuasaannya. Mungkin status bokap nyokapnya, Romeo dijauhkan oleh murid-murid yang kebanyakan anak dari perusahaan yang sudah ditindas. Begitulah deskripsi dari Capulet soal Romeo. Tidak ada hal-hal jelek tentangnya, tapi kenapa Romeo suka berdiam diri? Apa dia berpikir, lebih baik berdiam diri daripada kena masalah? Topik obrolan ini berganti ke candaan yang sungguh bikin kami berdua tertawa geli. Terutama aku yang dibikin sakit perut. Capulet cocok jadi pelawak, daripada calon fashion designer. Aku juga jual leluconku padanya dan dia dibikin sangat sakit perut. Kedua kakinya sampai terayunkan dan nendang meja. Itu sedikit berlebihan. Aku lanjutkan makanku yang sudah dingin. Tetap saja, aku suka minum kuahnya yang pedas sekaligus asem. Kami keluar kantin, begitu bayar makanan masing-masing. Ada kejadian sedikit tidak enakkan hati, ada cewek berkacamata bulat berhadapan sama sekelompok cewek cantik. Jelas-jelas, bukan lawan sepandan untuk cewek kacamata tuh. Menjelang sore, aku bergegas keluar dari gedung sekolah untuk balik ke rumah keluarganya Robert. Tanpa disengaja, sepatuku kesangkut sama paku. Akibatnya, aku hampir mau jatuh dan mukaku masuk ke dalam saluran got. Bedanya, bukan begitu kejadiannya. Badanku tertangkap oleh pegangan tangan seseorang, dan melirik untuk lihat wajahnya seperti siapa. Sial, orang itu Romeo. Wajahku merah padam sekaligus aku merasa deg-degan sekali. Ini kedua kalinya setelah bertemu di bandara. Dia bantu aku untuk berdiri dan sadar dari berhentinya waktu. “Makasih sudah nolong...” Romeo tetap tidak berubah sikap wajahnya dan pergi ninggalin aku. Aku lihat dia masuk ke dalam mobil mewah, tidak buruk untuk salah satu keluarga mafia. Muncul taksi di depanku dan keluar Robert, dengan wajah cerianya. Aku kasih senyum untuknya, dan nyerahkan tas sekolahku untuknya. Begitu masuk ke dalam taksi dan tancap gas, Robert mandangku dengan wajah semangatnya di era 45. “Gimana sekolahnya? Pasti asyik... bisa ketemu teman-teman baru.” Aku pikir sebaliknya, aku sudah punya musuh. Musuh karena sudah maluin aku di kelas. “Seru banget, kau pasti gak percaya. Minta bokap nyokap untuk sekolahin kamu.” Robert kaget dengarnya, minta bokap nyokapnya untuk sekolahan? Gimana bisa yakinin mereka untuk sekolah, sementara mereka percaya sama keadaan sekolah jaman sekarang? Akan ada banyak kejadian bullying di sana dan hanya kenangan buruk. Begitu masuk ke dalam rumah, aku mandi di bak dengan aroma bunga. Rasa penatku hilang dalam waktu sejam kemudian. Masuk ke dalam kamar dan ganti baju. Robert ngajak aku untuk makan malam, berupa ayam panggang dan kentang rebus. Makan malam bersama keluarga Robert, adalah malam yang sangat hangat. Om dan tante ceritakan keseharian mereka, waktu kerja mereka. Tante sibuk kerja sebagai chef dan restorannya sangat penuh. Sementara Om kerja sebagai wartawan di koran. Betapa lelah mereka, ditambah nyiapin makan malam di rumah. Selesai makan, aku balik ke kamar. Aku berbaring di tempat tidur, sambil nunggu tertidur. Beberapa detik kemudian, aku tertidur lelap.