Rabu, 24 November 2010

CERPEN _ MILTO

Rambutnya yang pirang, hidungnya yang mancung, dan tipis bibirnya serta kulitnya yang kuning langsat, memang itu ciri yang menjadikan cantik wajah Geralda. Dan lelaki siapa yang tidak meliriknya, ketika Geralda lewat di depannya sedang mentari pagi memantulkan cantik paras Geralda, seolah menyilaukan mata. Geralda, gadis cantik yang selalu tampil menawan rasa itu kini tinggal di kamp pengungsian.
Bila mentari menampakkan wajahnya di pagi yang cerah, Geralda akan segera mengenang Timor Loro Sa’e, Timor matahari terbit. Bagi Geralda, mengenang Timor Leste sama saja dengan mengenang Maliana. Di sana di Maliana, ia teringat akan sebuah kota kecil yang terletak sepi di kaki gunung Railaku, tempat pasukan Fretelin bersembunyi di tempo dulu. Ia pun terkenang akan para guru dan teman-temannya yang setiap saat memilih memancing di pinggiran sawah si petani tua.
“Umpan dibuang ke dalam air dan ‘praaak’ seekor gabus tergantung lemas, meronta-ronta di ujung mata kail”, kenang Geralda, “itu terjadi ketika seorang teman sedang memancing dan aku lewat, pergi mencari sayur kangkung”.
Lanjut Geralda dalam hatinya sambil terus memandang mentari pagi di indahnya awal hari itu,
“dan teman itu kembali melepaskan umpan sambil bernyanyi kecil dan kudengar syair yang aneh itu ‘Geralda… Geralda… Geralda bonita tebes’.2 Tetapi aku terus melangkah tak hendak melihat apalagi mencari tahu orang yang menyanyikan syair aneh itu. Aku terus melangkah. Ketika sudah sedikit jarak dan aku yakin orang itu tidak lagi melihat ke arahku, maka aku menoleh sekedar melihat siapa-siapa yang memancing di sore itu. Saat kujatuhkan pandangan ke tempat itu ternyata dia adalah Jose yang juga memandangku dengan senyum nakalnya. Sekarang aku tahu, dia adalah Jose yang pernah menyatakan cintanya padaku. Akhirnya, dengan wajah malu-malu aku terus melangkah…”
Memang Geralda tak sudi melepaskan goresan asmara di sore yang tenang itu. Ia tak akan pernah membiarkan kenangan itu pergi bersama mentari. Biar mentari berlalu dan cintanya pada Jose tetap lestari.
Pagi itu pun berlalu dan Geralda kembali bergabung dengan keluarganya dalam kesibukan harian mereka. Apa adanya. Yang penting merasa bahagia sekalipun tinggal di kamp pengungsian. Terkadang Geralda bergabung dengan tetangganya yang sibuk menyiapkan bedeng buat menanam sayur. Sedangkan di sore hari ia giat berlatih bersama teman-teman sebuah klub voli. Apalagi mereka mendapat undangan untuk sebuah pertandingan rekonsiliasi di Maliana-Timor Leste. Sebuah kesempatan yang sejak lama ia nantikan. Tentunya latihan terus digiatkan setiap sore karena saat untuk berangkat ke Timor Leste tinggal seminggu lagi. Geralda memang model pemain yang selalu tampil menawan rasa. Bukan hanya cantik di wajahnya tetapi terlebih karena gaya smashingnya yang selalu memukau dan memikat hati para penonton. Alasan ini pun telah membuat dia tidak ragu-ragu tampil sebagai smasher andalan dalam tim itu. Sekalipun demikian ia tak pernah meremehkan teman-temannya. Dan untuk itu teman-temannya telah mempercayakan dia sebagai kapten tim dalam pertandingan mendatang di Timor Leste.
Untuk semuanya itu Geralda pun berharap ia dapat memberikan yang terbaik untuk timnya dan terutama saat tampil nanti, teman-temannya yang di Timor Leste boleh merasa bangga karena tampilannya yang unik. Lalu seluruh harapan dan latihannya sudah pasti akan dicurahkan untuk Jose, orang yang paling ia cintai.
Tentu saja Jose pun telah lama menanti kedatangan Geralda, orang yang sangat ia rindukan semenjak perang telah memisahkan mereka. Kabar itu pun telah membuat Jose seminggu terakhir merasakan betapa lamanya waktu bergulir. Lamanya tempo ini pun tak ubahnya dengan orang-orang Timor Leste menantikan sebuah hari kemerdekaan selama dua puluh empat tahun.
Namun bagaimana pun juga saat itu pun sudah dekat. Semua urusan mengenai dokumen perjalanan tim sudah selesai. Tim voli puteri dan putera, lalu tim bola kaki dan basket. Semuanya sudah beres. Semua urusan berjalan lancar. Tanpa hambatan. Apalagi perjalanan ini memiliki tujuan yang unik yakni sebuah misi rekonsiliasi.
Derap langkah sang waktu selalu pasti, pasti berlangkah dari siang menuju malam dan dari malam kembali ke siang. Saat yang dinantikan itu pun sudah di ambang pintu. Sehari sebelum jatuh tempo untuk perjalanan ke Timor Leste. Geralda tepat bangun sebelum matahari terbit. Hari masih samar-samar ketika ia membuka jendela kamarnya dan setia menanti terbitnya mentari di hari yang baru itu. Sebuah awal hari baru disambut dengan sebuah kebiasaan lama. Menanti mentari sambil mengenang kisah kasih di bumi Loro Sa’e bukanlah sebuah pekerjaan yang sulit dan membosankan Geralda. Dia bermaksud memberi tempat pertama buat Jose di setiap awal hari baru. Cintanya pada Jose cukup sederhana bahkan sederhana sesederhananya tempat pengungsian yang ia diami itu. Namun cintanya pada Jose setulus dan setotal mentari yang menyinari semesta jagat.
Kini kembali Geralda menanti dan persis di terbitnya sang surya hari itu, ia tenggelam dalam kisah indah bersama Jose di pematang sawah, tempat para tukang pancing berdiri sambil membuang umpan. Di sinilah tempatnya Jose dan Geralda. Di sini juga tempat Jose pernah memancing cinta Geralda yang rumahnya tak jauh dari tempat pancing Jose dan kawan-kawannya.
“Kisah kasih di senja tak berawan. Mentari bersembunyi di bukit kecil di ujung barat bentangan sawah si petani tua. Anak-anak gembala masih dalam perjalanan pulang dari padang. Sinar mentari hampir tak kelihatan lagi. Hanya puncak Railaku yang selalu mendapat sinar terakhir di kota kecil itu. Sebuah lumbung aluminium peninggalan Portugis pun masih sempat memantulkan sinar mentari di sore itu. Sedang ilalang di antara padi petani sesekali menjamah lembut montok betis Geralda, karena memang hembusan angin sore yang menggerakkannya. Jose berdiri di samping Geralda, menggenggam erat lembut jemari kekasihnya. Di sana sekumpulan burung pipit terbang menuju sarangnya di ujung serumpun bambu dekat pondok petani tua.
Sepi di senja itu menyapa Jose dan Geralda , ‘boa tarde!!,3 ikan gabus menghabiskan umpan. Jose tak menghiraukannya karena yang dipancing itu cinta Geralda bukan ikan gabusnya. Hari sudah samar-samar. Bila di sana tidak lagi ada para petani dan tukang pancing, bibir Jose mengalir tak sabar dalam desahan napas yang tak terkendali, lalu bermuara di tipis bibir Geralda. Sedangkan jemarinya tak henti membelai pirang rambut Geralda. Geralda membiarkan semuanya terjadi dan aliran itu melaju dalam pasrahnya tubuh yang menerima sengatan tidak sopan itu. Geralda merasakan getaran yang mengguncang sekujur tubuhnya. Dan Jose pun tak ubahnya dengan bocah yang terlena dalam buaian.
Bila gembala-gembala kecil itu lewat, sesekali Jose mengambil sikap hati-hati, biar si gembala kecil tidak tergoda oleh desahan-desahan tidak sabar itu…dan semuanya berakhir di ujung hari itu. Jose mengantar Geralda kembali ke rumahnya dan selesailah kisah itu ketika perang harus membagi cinta mereka..…”
Kemesraan itu yang tak sudi Geralda lupakan. Banjir kenangan mengalir bersama hamburan sinar mentari ketika pagi sudah merekah. Mentari terus dipandangnya di pagi hari itu, dan wajah tampan Jose membayang terang di lembutnya sinar surya. Ketika ia sesekali menoleh ke samping, di bias sinar mentari pada selembar daun talas, nampak seolah Jose datang dari Timor matahari terbit. Hadir Jose dalam bias-bias itu seolah membawa kabar buat Geralda, “…datanglah Geraldaku sayang, sejak lama aku telah menanti kamu di kota kecil tempat kita di kaki gunung. Bergegaslah dan biarlah kita mengulang kisah di pematang sawah petani tua.”
Dan siapa yang sanggup membendung guliran sang waktu. Sekalipun bagi orang-orang yang bercinta, waktu adalah keabadian, toh laju sang waktu itu pasti, seperti hari berlalu dan pasti malam pun tiba. Lalu hari impian itu datang menyapa orang-orang yang masih lelap dalam tidurnya. Pun ia menyapa Geralda yang apa adanya, yang saat ini begitu ceria dan brilian karena hari impian itu telah datang dalam terang perjalanan menuju Timor Leste. Sebuah hari masih pagi ketika sebuah bus melaju menuju frontíera4 Mota Ain. Betapa cerianya wajah Geralda dan rasanya perjalanan ini indah sekali. Teman-temannya pada senang, rupanya mereka juga tahu keadaan hati kapten tim mereka. Sesekali mereka menyapa Geralda begitu ramah.

“Geralda, kamu pasti senang karena kamu akan melihat lagi wajah kotamu sesudah berpisah cukup lama…”
Geralda menyambut semuanya dengan senyum manis dan katanya, “ya, tentu saja. Tetapi saya sendiri tidak tahu, apakah kota kecil di kaki gunung itu, wajahnya masih seperti yang dulu. Saya harap masih seperti yang pernah ada. Entah baik atau buruk kita akan menyaksikannya bersama.”
Bus itu pun terus melaju dan cerita mereka hanya seputar wajah Maliana di tempo dulu. Apakah masih seperti yang dulu? Itu hanya Geralda yang meragukannya, karena memang dalam tim itu Geralda sendiri yang berdarah Timor Leste dan sejak lahir ia dan keluarganya tinggal di Maliana, kota kecil di kaki gunung itu.
Cerita tentang orang-orang kecintaannya berakhir. Saat ini kecepatan bus menurun dan mereka pun tiba di Frontiera Mota Ain, di sebuah perbatasan yang telah dibangun untuk memisahkan orang-orang yang pernah mencintai dan pernah saling mencintai. Sebuah zona yang dibangun untuk menjaga keamanan lalulintas orang-orang yang pernah saling menyapa sebagai yang mencintai dan yang dicintai. Sebuah pilar sudah dicipta untuk memberi pemisahan bagi orang-orang yang pernah saling menyapa sebagai saudara. Alasan itu pun telah membuat Geralda sejak lama merasa jauh… jauh dari kampung halamannya, kota kecil di kaki gunung, tempat lindung orang-orang yang pernah bertikai. Dan sekarang Geralda berserta teman-temannya berada di zona yang disebut perbatasan itu.
Beberapa temannya sudah melintas segera sesudah namanya dipanggil, diperiksa dan diizinkan oleh polisi perbatasan untuk melintas.
Geralda masih menanti gilirannya. Semua teman setimnya sudah melintas. Geralda tampaknya biasa saja karena dia yakin pasti akan tiba di Maliana.

“Geralda Martinz Pareira…”, panggilan itu adalah panggilan terakhir untuk tim Voli putri yang akan melintas. Segera Geralda berlangkah menuju pos itu. Tenang. Diam. Tanpa kata terucap. Menatap polisi berbadan kekar, berkulit sawo matang, berperawakan tinggi, berambut keriting halus. Rupanya ia tentara PBB asal Fiji yang masih berkarya untuk Timor Leste. Lalu tiba-tiba seorang Civil Police maju berhadapan dengan Geralda.
Geralda tidak percaya dengan keadaan ini. Sedangkan teman-temannya masih menanti dia di zona Timor Leste. “Ada apa?”, tiba-tiba tanya Geralda dalam hatinya. Dan civil police itu mulai berbicara sesudah diam sedikit lama,
“Minta maaf saudari Geralda…”, sambungnya dengan nada sedikit kasar, “saudari tidak diizinkan untuk memasuki zona Timor Leste. Yahhh…, saudari tidak diizinkan. Ini demi keselamatan dan keamanan diri saudari. Dan karena alasan itu saudari sama sekali tidak punya hak untuk melangkahi wilayah frontiera ini.”
Geralda seolah tidak percaya dengan kata-kata ini, tetapi tubuhnya berkeringat dingin.
“Sekarang saudari boleh kembali…” Perintah civil police itu dengan suaranya yang seolah mengusir.
“Kembali? Tidak mungkin, pak. Saya kan kapten tim yang akan bermain untuk misi rekonsialiasi itu. Dan yang paling utama, mengapa saya tidak diizinkan memasuki negeriku sendiri? Bukankah saya berhak memperoleh izin untuk memasuki negeriku sendiri?”
“Tidak… sekali lagi tidak. Anda bukanlah orang yang layak menyebut Timor Leste sebagai negerinya. Sekali lagi anda bukanlah orangnya. Kalau kamu ingin selamat, sebaiknya saudari membatalkan perjalanan ini sebelum terjadi sesuatu yang tidak kita inginkan pada perjalanan tim ini dan terutama pada dirimu sendiri.”
Geralda diam seribu bahasa. Berat untuk membantah, karena ia tahu keadaan itu. Lalu dalam diam ia kembali, tapi hatinya hancur sejadi-jadinya. Langkahnya berat dan memang berat ketika ia harus membalikkan tubuhnya dan membelakangi negerinya. Ia tak sanggup menerima begitu saja situasi awal kemerdekaan Timor Leste yang masih diwarnai pro dan kontra. Memang nama dan identitas tertentu menjadi buruan orang-orang yang masih menyimpan dendam. Langkahnya berat sekali ketika ia menoleh dan melihat kawan-kawan setimnya melaju menuju kotanya dan dia terpaksa menahan luka di hatinya karena tidak diizinkan memasuki negerinya sendiri. Ia sempat menatap kepergian ketujuh temannya yang dijemput secara meriah dengan sejumlah mobil buatan Australia. Mereka melaju menuju kota kecil di kaki gunung itu. Sedangkan Geralda dihantar pulang dengan sebuah Kijang kembali ke kediamannya di kamp pengungsian.
Sepanjang jalan perpisahan dengan teman-teman setimnya. Tubuh Geralda terus berkeringat. Hati Geralda hancur sehancur-hancurnya. Air matanya menetes dalam tak sadarnya membasahi pipi. Bagaimana mungkin ia tidak diizinkan memasuki negerinya sendiri. Wajah Geralda memang tidak brilian lagi. Hanya dalam sekejap keceriaan yang ia bangun selama ini berubah menjadi air mata kesedihan. Raga yang ia olah selama ini berubah menjadi tubuh yang sakit.
Satu yang masih hangat di memorinya adalah kisah kasih di pematang sawah petani tua. Tapi apa arti semuanya itu. Ia tak sadarkan diri, sekalipun Kijang itu terus melaju di pesisir sebuah pantai berpasir putih. Geralda terus saja hanyut dalam luka di hatinya…
Ia tak berdaya menahan derai air matanya. Betapa sakit luka di hatinya, manakala ia terkenang oleh masa kanak-kanaknya di negeri kecintaannya. Dan memang hati siapa yang tidak tersayat, bila ia memandang kotanya hanya dalam impian. Sedangkan ia ingin pergi ke kota itu dan orang-orang telah menyembunyikan jalan ke negeri tempat ia lahir dan dibesarkan. Geralda masih tetap mencari jalan itu sambil terus menghambur duka. Dan lihatlah, sebuah generasi lenyap ditelan peluru dan sebuah generasi lagi lahir persis di hadapan sebuah pilar pemisah. Kijang itu terus melaju dan akhirnya Geralda tiba di kamp pengungsian dengan wajah pucatnya, disambut ayah dan budanya serta saudara-saudarinya dan semua tetangganya dengan wajah heran dan bingung. Tak sepatah pun kata yang diucapkannya, kecuali barisan ini,
“Mama… saya tidak diizinkan untuk memasuki negeriku dan negeri kita semua.”
Dan saat itu, Geralda pun kembali meneteskan air matanya di hadapan semua orang yang datang menjemputnya. Hatinya gundah-gulana dalam tangisan meratapi negeri Loro Sa’e, tempat ia pernah merasakan hidup penuh persaudaraan dengan orang-orang yang kini menyembunyikan jalan ke negeri itu baginya. Sungguh sakit luka di hati Geralda, si bonita yang amat merindukan negerinya itu. Bundanya yang menaruh rasa iba pada puterinya yang diperlakukan demikian turut meneteskan air matanya. Bundanya sedih dan hatinya luka tetapi Geraldalah orang yang paling sedih dan paling merasakan sakit di hatinya. Tetapi tangan siapa yang sanggup menumbangkan pilar di Frontiera yang telah dibangun dengan begitu kokohnya itu? Hanya cinta yang sanggup menghancurkannya bila orang-orang yang sedang bertikai bersedia menyadari bahwa mereka lahir dari satu bumi yang sama yakni bumi Loro Sa’e. Bahwa mereka lahir dari satu rahim yang sama yakni rahim Bumi Loro sa’e.***

GADIS KECIL DI GEREJA TUA

Senja telah berganti malam, saatnya aku kembali dari tempatku mengadu nasib. Kembali kerumah yang penuh dengan kenyamanan,yang aman dari segala macan bahaya yang mengancamku. Ah,, lelah rasanya tubuh ini. Ingin aku segera sampai dirumah, dan membasuh tubuhku yang penuh keringat ini dengan air hangat.

Seperti biasa, saat pulang aku selalu melewati sebuah bangunan gereja tua yang sudah jarang pengunjungnya. Disana hanya ada seorang kakek tua penjaga gereja tersebut, amatlah ramah. Ketika aku bertemu dengannnya, dia selalu menyapaku. Namun saat ini yang tidak biasa adalah ada seorang gadis kecil yang tengah duduk termenung diserambi gereja. Nampaknya ia sedang sedih. Aku pun penasaran entah itu manusia atau bukan, dan aku pun segera menghampirinya. Rasa ragu dan takut pun menghampiriku. Namun aku tetap memberanikan diri untuk mendekati dan menyapanya. Aku pun memulai pembicaraan dengannya.

“hai… boleh aku tau siapa namamu?”
“namaku Sharon..”
“perkenalkan namaku Jason.” Ucapku.
“apa kamu sedang menunggu seseorang di gereja ini?” sambungku.
“tidak.” Jawabnya singkat.
“apa yang kamu lakukan disini?”
“entahlah, aku pun tak tau?”
“memangnya kamu hendak kemana?”
“entahlah, aku pergi tanpa tujuan.”
“apa kau sendiri?”
“tidak, aku pergi bersama harapanku.”


Sikap gadis ini begitu dingin padaku. Entahlah, apakah dia tidak menyukai kehadiranku. Aku makin penasaran dengan gadis kecil yang cantik ini. Dan sepertinya dia pergi dengan membawa banyak harapan yang ,mungkin bisa merubah jalan hidunya agar lebih baik.

“apa orang tuamu tidak mengakhawatirkanmu pergi sendirian seperti ini?”
“orang tuaku sudah tiada…”
Ah, sedih hatiku mendengar ucapanya barusan.tak tega aku melihatnya sendirian disini.
“apa yang kau cari di tempat ini?”
“aku tak tau. Bahkan untuk tinggal dimana pun aku masih tak tahu.”
“jika kau berminat kau boleh menginap dirumahku untuk beberapa lama..”
“tidak. Aku tidak mau merepotkan orang lain. Aku ingin menjadi orang yang mandiri?”
“Sharon, semandiri apa pun seseorang, dia pasti tetap membutuhkan bantuan orang lain. Ayolah, terima tawaranku. Aku tak akan bisa meninggalkanmu sendirian disini.”
“mengapa?”
“karna aku tak akan memaafkan diriku sendiri jika terjadi hal buruk terjadi padamu.”
“ah… tinggalkan aku sendiri disini. Aku tak ada orang yang mengganguku saat ini.”
“baik, aku tak akan menggangu. Tapi aku takkan pergi dari sini.”


Aduh… apa yang ada dipikiranku? Entah mengapa aku tak ingin meniggalkan gadis kecil ini. Aku ingin sekali menemaninya. Aku tak tega meninggalkan dia sendiri disini. Aku takut meninggalkannya. Gadis ini sangat keras kepala, namun sepertinya dia sangat optimis dengan harapan yang ia bawa pergi sejauh ini. Mungkin itu yang membuatku tertarik padanya. Apa? Tertarik? Apa maksudku berpikiran seperti itu? Apa mungkin aku menyukainya? Ahh,, tidak mungkin! Mungin aku hanya bergurau. Hahaha. Ah, bodohnya aku. Umurku beda jauh dengannya, mana mungkin aku menyukainya? Aku hanya berniat membantunya saja koq.

“apa kau mau menerima tawaranku sekarang?” sambungku dalam pembicaraan ini.
“entahlah..” jawabnya singkat.
“Sharon… kalau aku boleh tau apakah yang menyebabkanmu pergi sejauh ini dan tanpa tujuan?”
“aku tak punya rumah lagi ketika orang tuaku meninggal. Seseorang mengaku telah membeli rumahku. Dan terpaksa aku pun harus pergi dari rumahku.”
“apa kau tak mempunyai saudara yang mungkin bisa mengijinkanmu tinggal dirumahnya? Kalu ada akua janji kan mengantarkanmu. Sejauh apa pun jarak yang akan kami tempuh.”
“tak ada!”
“satu pun?”tanyaku heran.
“ada, tapi dia sangat tidak manyukaiku. Dia sering sekali mencoba tuk melukaiku. Namun selalu gagal.”
“ah,, lebih baik tak usah. Tinggallah bersamaku!”

Dia hanya terdiam.

Kasihan sekali gadis manis ini. Tak tega aku. Jika ia mau tinggal bersamaku, aku akan membuat dia selalu membuatnya selalu tersenyum. Dan aku akan menjadikan biaya hidupnya sebagai tanggung jawabku. Oh,, Tuhan… andai aku dalam kondisi seperti dia aku tak yakin bisa bertahan hidup. Tuhan, ijinkan aku mengajaknya tinggal bersamaku. Dan aku berjanji akan selalu menjaganya.

“Sharon…”
“ya?”
“berapa usiamu sekarang?”
“hari ini aku menginjak usia 12tahun.”

Aku terdiam kembali. Menahan sesak di dada. Ketika aku tahu bahwa hari ini dia menginjak usia 12tahun. Usia yang sangat belia. Uisa yang seharusnya ia masih bisa merasakaan senangnya bermain dan bergaul. Tapi ia kini harus memikirkaan hidupnya dan masa depannya sendiri. Ya Tuhaan… apa tidak terlalu berat ujian yang Kau berikan pada gadis ini?

“Sharon?”
“hmm?”
“mau kah kau tinggal bersamaku?”
“tapi…”
“sudah lah… aku ikhlas menolongmu. Aku akan mencoba tuk selalu menemanimu agar kau tak kesepian seperti saat ini. Suatu saat nanti, jika kau boleh pergi dari rumahku jika kau sudah mamapu membiayai hidupmu sendiri. Kau pun perlu sekolah, agar kau bbisa menggapai impianmu.”

Dia hanya menggangguk.

Akhirnya dia pun menerima tawaranku. Aku senang karena kini aku tak sendiri di rumah. Kini ada seorang gadis kecil yang akan mengisi hari-hariku yang membosankan ini. Namun, di sepanjang kami hanya terdiam satu sama lain. Terdiam hingga kami sampai di rumah. Mungkin dia masih merasa asing denganku. Wajar saja, kami baru pertama kali bertemu dan kini dia harus tinggal bersama orang asing yang tidak ia kenal seperti aku. Tapi, aku tak ada niat buruk sedikitpun kepadanya. Justru malah aku ingin sekali menolongnya. Semoga ia senang tinggal bersamaku.

Rasanya tak adil bila aku harus setiap hari bekerja dan ia tetap di rumah sendirian tanpa ada kegiatan yang memebuatnya bersemangat. Aku harus menyekolahkannya. Dia perlu belajar, agar ia bisa merasakan senangnya bergaul dengan teman-teman seusianya. Dan juga agar ia dapat belajar seperti dulu, supaya ia bisa menggapai cita-citanya. Ya.. aku ingin ia bahagia.

Satu tahun sudah ia tinggal bersamaku. Ia sudah seperti adikku sendiri. Aku sangat menyayanginya. Aku selalu menjaganya dan memperlakukan dia dengan baik. Dan tak terasa pula bahwa tahun ini juga ia genap berusia 13tahun. Aku ingin sekali mengajaknya jalan-jalan dan membelikanya hadiah ulang tahun. Aku senang bila melihanya senang. Aku merasa bahagia bila melihanya tersenyum. Dan hari ini aku akan membuatnaya senang.

Hari ini aku merelakan bolos kerja hanya untuk merayakan ulang tahunnya. Semoga ia senang dengan hari ini dan tak akan pernah melupakan momen indah ini. Hari ini aku ingin membelikannya kado yang sangat ia inginkan sejak lama, boneka Teddy Bear ukuran jumbo. Ya, memang ukuranya sangat besar. Dan harganya pun juga besar. Tapi tak apalah, ini demi menyenangkan hatinya di hari spesialnya ini.

Kado telah terbeli. Kini saatnya menunggu Sharon pulang dari sekolahnya. Aku tak sabar ingin melihatnya ekspresinya saat menerima kado ini. Dan 1 jam aku menunngu, akhirnya ia pulang juga. Dan aku pun mengejutkan dengan memberikan boneka Teddy Bear itu. Dia nampak sangat senang rupanya. Dia ersenyum bahagia selama beberapa saat. Dan akhirnya pun ia langsung Nampak murung.

“Sharon? Mengapa kau murung? Apa kau tak suka dengan kado yang aku berikan?”
“tidak, aku sangat menyukainya. Tapi aku lebih senang jika orang tuaku sendiri yang mmberikannya padaku.” Ia menjawab sambil menahan air mata.
Aku pun memeluknya dengan erat.
“Sharon, aku menyayangimu! Jangan kau buat aku sedih dengan air mata mu.”

Oh,, tuhan mengapa kau mengingatkannya dengan peristiwa satu tahun lalu padanya? Tak cukupkah kau berikan ia cobaan kepadanya satu tahun lalu? aku tak tega melihatnya menangis. Oh,, tuhan kejamnya hidup ini. Mengapa harus gadis tak berdosa ini yang merasakannya? Mengapa tidak orang lain saja? Tidakkah kau ingin melihatnya dengan sedikit senyum wajahnya? Tuhan, jika inilah takdir yang kau berikan, tolonga bantu dia menghadapi semua ini. Agar hidupyang kami jalani tetap bermakna, walaupun perih dan luka di hatinya tak pernah sembuh meski seribu senyum terukir di wajahnya yang cantik. Sharon,, kau bisa hadapi ini semua. Aku akan selalu bersamu dan selalu menjagamu.

Artikel Asli Dari Gadis Kecil di Gereja Tua | Cerpen
Di www.siswatkj.co.cc
Under Creative Commons License: Attribution Non-Commercial


Senja telah berganti malam, saatnya aku kembali dari tempatku mengadu nasib. Kembali kerumah yang penuh dengan kenyamanan,yang aman dari segala macan bahaya yang mengancamku. Ah,, lelah rasanya tubuh ini. Ingin aku segera sampai dirumah, dan membasuh tubuhku yang penuh keringat ini dengan air hangat.

Seperti biasa, saat pulang aku selalu melewati sebuah bangunan gereja tua yang sudah jarang pengunjungnya. Disana hanya ada seorang kakek tua penjaga gereja tersebut, amatlah ramah. Ketika aku bertemu dengannnya, dia selalu menyapaku. Namun saat ini yang tidak biasa adalah ada seorang gadis kecil yang tengah duduk termenung diserambi gereja. Nampaknya ia sedang sedih. Aku pun penasaran entah itu manusia atau bukan, dan aku pun segera menghampirinya. Rasa ragu dan takut pun menghampiriku. Namun aku tetap memberanikan diri untuk mendekati dan menyapanya. Aku pun memulai pembicaraan dengannya.

“hai… boleh aku tau siapa namamu?”
“namaku Sharon..”
“perkenalkan namaku Jason.” Ucapku.
“apa kamu sedang menunggu seseorang di gereja ini?” sambungku.
“tidak.” Jawabnya singkat.
“apa yang kamu lakukan disini?”
“entahlah, aku pun tak tau?”
“memangnya kamu hendak kemana?”
“entahlah, aku pergi tanpa tujuan.”
“apa kau sendiri?”
“tidak, aku pergi bersama harapanku.”


Sikap gadis ini begitu dingin padaku. Entahlah, apakah dia tidak menyukai kehadiranku. Aku makin penasaran dengan gadis kecil yang cantik ini. Dan sepertinya dia pergi dengan membawa banyak harapan yang ,mungkin bisa merubah jalan hidunya agar lebih baik.

“apa orang tuamu tidak mengakhawatirkanmu pergi sendirian seperti ini?”
“orang tuaku sudah tiada…”
Ah, sedih hatiku mendengar ucapanya barusan.tak tega aku melihatnya sendirian disini.
“apa yang kau cari di tempat ini?”
“aku tak tau. Bahkan untuk tinggal dimana pun aku masih tak tahu.”
“jika kau berminat kau boleh menginap dirumahku untuk beberapa lama..”
“tidak. Aku tidak mau merepotkan orang lain. Aku ingin menjadi orang yang mandiri?”
“Sharon, semandiri apa pun seseorang, dia pasti tetap membutuhkan bantuan orang lain. Ayolah, terima tawaranku. Aku tak akan bisa meninggalkanmu sendirian disini.”
“mengapa?”
“karna aku tak akan memaafkan diriku sendiri jika terjadi hal buruk terjadi padamu.”
“ah… tinggalkan aku sendiri disini. Aku tak ada orang yang mengganguku saat ini.”
“baik, aku tak akan menggangu. Tapi aku takkan pergi dari sini.”


Aduh… apa yang ada dipikiranku? Entah mengapa aku tak ingin meniggalkan gadis kecil ini. Aku ingin sekali menemaninya. Aku tak tega meninggalkan dia sendiri disini. Aku takut meninggalkannya. Gadis ini sangat keras kepala, namun sepertinya dia sangat optimis dengan harapan yang ia bawa pergi sejauh ini. Mungkin itu yang membuatku tertarik padanya. Apa? Tertarik? Apa maksudku berpikiran seperti itu? Apa mungkin aku menyukainya? Ahh,, tidak mungkin! Mungin aku hanya bergurau. Hahaha. Ah, bodohnya aku. Umurku beda jauh dengannya, mana mungkin aku menyukainya? Aku hanya berniat membantunya saja koq.

“apa kau mau menerima tawaranku sekarang?” sambungku dalam pembicaraan ini.
“entahlah..” jawabnya singkat.
“Sharon… kalau aku boleh tau apakah yang menyebabkanmu pergi sejauh ini dan tanpa tujuan?”
“aku tak punya rumah lagi ketika orang tuaku meninggal. Seseorang mengaku telah membeli rumahku. Dan terpaksa aku pun harus pergi dari rumahku.”
“apa kau tak mempunyai saudara yang mungkin bisa mengijinkanmu tinggal dirumahnya? Kalu ada akua janji kan mengantarkanmu. Sejauh apa pun jarak yang akan kami tempuh.”
“tak ada!”
“satu pun?”tanyaku heran.
“ada, tapi dia sangat tidak manyukaiku. Dia sering sekali mencoba tuk melukaiku. Namun selalu gagal.”
“ah,, lebih baik tak usah. Tinggallah bersamaku!”

Dia hanya terdiam.

Kasihan sekali gadis manis ini. Tak tega aku. Jika ia mau tinggal bersamaku, aku akan membuat dia selalu membuatnya selalu tersenyum. Dan aku akan menjadikan biaya hidupnya sebagai tanggung jawabku. Oh,, Tuhan… andai aku dalam kondisi seperti dia aku tak yakin bisa bertahan hidup. Tuhan, ijinkan aku mengajaknya tinggal bersamaku. Dan aku berjanji akan selalu menjaganya.

“Sharon…”
“ya?”
“berapa usiamu sekarang?”
“hari ini aku menginjak usia 12tahun.”

Aku terdiam kembali. Menahan sesak di dada. Ketika aku tahu bahwa hari ini dia menginjak usia 12tahun. Usia yang sangat belia. Uisa yang seharusnya ia masih bisa merasakaan senangnya bermain dan bergaul. Tapi ia kini harus memikirkaan hidupnya dan masa depannya sendiri. Ya Tuhaan… apa tidak terlalu berat ujian yang Kau berikan pada gadis ini?

“Sharon?”
“hmm?”
“mau kah kau tinggal bersamaku?”
“tapi…”
“sudah lah… aku ikhlas menolongmu. Aku akan mencoba tuk selalu menemanimu agar kau tak kesepian seperti saat ini. Suatu saat nanti, jika kau boleh pergi dari rumahku jika kau sudah mamapu membiayai hidupmu sendiri. Kau pun perlu sekolah, agar kau bbisa menggapai impianmu.”

Dia hanya menggangguk.

Akhirnya dia pun menerima tawaranku. Aku senang karena kini aku tak sendiri di rumah. Kini ada seorang gadis kecil yang akan mengisi hari-hariku yang membosankan ini. Namun, di sepanjang kami hanya terdiam satu sama lain. Terdiam hingga kami sampai di rumah. Mungkin dia masih merasa asing denganku. Wajar saja, kami baru pertama kali bertemu dan kini dia harus tinggal bersama orang asing yang tidak ia kenal seperti aku. Tapi, aku tak ada niat buruk sedikitpun kepadanya. Justru malah aku ingin sekali menolongnya. Semoga ia senang tinggal bersamaku.

Rasanya tak adil bila aku harus setiap hari bekerja dan ia tetap di rumah sendirian tanpa ada kegiatan yang memebuatnya bersemangat. Aku harus menyekolahkannya. Dia perlu belajar, agar ia bisa merasakan senangnya bergaul dengan teman-teman seusianya. Dan juga agar ia dapat belajar seperti dulu, supaya ia bisa menggapai cita-citanya. Ya.. aku ingin ia bahagia.

Satu tahun sudah ia tinggal bersamaku. Ia sudah seperti adikku sendiri. Aku sangat menyayanginya. Aku selalu menjaganya dan memperlakukan dia dengan baik. Dan tak terasa pula bahwa tahun ini juga ia genap berusia 13tahun. Aku ingin sekali mengajaknya jalan-jalan dan membelikanya hadiah ulang tahun. Aku senang bila melihanya senang. Aku merasa bahagia bila melihanya tersenyum. Dan hari ini aku akan membuatnaya senang.

Hari ini aku merelakan bolos kerja hanya untuk merayakan ulang tahunnya. Semoga ia senang dengan hari ini dan tak akan pernah melupakan momen indah ini. Hari ini aku ingin membelikannya kado yang sangat ia inginkan sejak lama, boneka Teddy Bear ukuran jumbo. Ya, memang ukuranya sangat besar. Dan harganya pun juga besar. Tapi tak apalah, ini demi menyenangkan hatinya di hari spesialnya ini.

Kado telah terbeli. Kini saatnya menunggu Sharon pulang dari sekolahnya. Aku tak sabar ingin melihatnya ekspresinya saat menerima kado ini. Dan 1 jam aku menunngu, akhirnya ia pulang juga. Dan aku pun mengejutkan dengan memberikan boneka Teddy Bear itu. Dia nampak sangat senang rupanya. Dia ersenyum bahagia selama beberapa saat. Dan akhirnya pun ia langsung Nampak murung.

“Sharon? Mengapa kau murung? Apa kau tak suka dengan kado yang aku berikan?”
“tidak, aku sangat menyukainya. Tapi aku lebih senang jika orang tuaku sendiri yang mmberikannya padaku.” Ia menjawab sambil menahan air mata.
Aku pun memeluknya dengan erat.
“Sharon, aku menyayangimu! Jangan kau buat aku sedih dengan air mata mu.”

Oh,, tuhan mengapa kau mengingatkannya dengan peristiwa satu tahun lalu padanya? Tak cukupkah kau berikan ia cobaan kepadanya satu tahun lalu? aku tak tega melihatnya menangis. Oh,, tuhan kejamnya hidup ini. Mengapa harus gadis tak berdosa ini yang merasakannya? Mengapa tidak orang lain saja? Tidakkah kau ingin melihatnya dengan sedikit senyum wajahnya? Tuhan, jika inilah takdir yang kau berikan, tolonga bantu dia menghadapi semua ini. Agar hidupyang kami jalani tetap bermakna, walaupun perih dan luka di hatinya tak pernah sembuh meski seribu senyum terukir di wajahnya yang cantik. Sharon,, kau bisa hadapi ini semua. Aku akan selalu bersamu dan selalu menjagamu.

abowman

AKU DAN SAHABAT KECIL KU

Bertahun-tahun hidup bersama kucing peliharaan, membuat saya sedikit peka pada kebiasaan, dan apa yang sedang mereka rasakan lewat tingkah lakunya. Sejak kecil saya sudah memelihara kucing. Entah apa yang membuat saya suka pada hewan yang terkenal manja dan suka mencuri itu.
Seingat saya, didalam keluarga sendiri tak ada yang benar-benar suka pada hewan yang suka tidur itu. Ayah dan ibu bersikap biasa saja pada mereka. Tapi tetap menaruh perhatian pada makhluk berbulu lembut itu.
Kadang saya takjub pada ayah ibu dan kakak-kakakku, karena meskipun tak secara khusus menyukai hewan peliharaanku, tapi keluarga tak pernah benar-benar melarang saya untuk bergaul dengan kucing. Kadang mereka suka mengingatkan jam makan kucing-kucing peliharaan saya itu. Kecuali kakak perempuan saya yang memang benar-benar fobia. Kakak lelaki saya tergantung cuaca. Kadang perhatian, kadang masa bodo!
Tapi meskipun tak suka dengan kucing-kucing itu, sikap kelurgaku tak pernah berlebihan. Tak pernah menghukum berat kalau merasa terganggu. Misalnya dengan menyiram air panas seperti yang pernah dilakukan salah satu tetanggaku. Mungkin karena sudah terbiasa dengan kehadiran kucing-kucing peliharaan saya, akhirnya keluarga juga ikut-ikutan menganggap mereka sebagai bagian dari keluarga kami .Padahal kucing yang saya pelihara juga bukan kucing-kucing mahal. Melainkan kucing kampung biasa, namun bersih dan menggemaskan. Pernah sih kakak perempuan saya menghukumnya dengan membawanya pergi entah kemana induk kucing. Tapi toh lama-lama nyerah sendiri karena si pus tetap bisa balik lagi dengan sukses. Bravo pus ! :) )
Maka sampai sekarang, hidup saya tak pernah lepas dari hewan yang dianggap Dewa oleh masyarakat Mesir kuno itu. Bila saya kenang suka duka bersahabat dengan kucing-kucing itu, saya suka tertawa sendiri. Hati tiba-tiba diliputi kebahagiaan.
Betapa tidak, tiap kali bangun pagi, sahabat-sahabat kecil itulah yang kebetulan tidur sekamar dengan saya yang lebih dulu membangunkan. Subuh-subuh mereka sudah naik ke tempat tidur dan menjilat muka saya sambil mengeong kecil. Ada yang suka banget duduk di perut saya. Masuk dalam selimut, atau naik kepunggung.
Namun kenangan yang paling tak terlupakan adalah saat saya sedang sakit. Biasanya setiap kali saya sakit, sahabat-sahabat kecil itu langsung dipisahkan dariku. Tak boleh masuk kamar tidurku. Perasaan kami ( saya dan kucing-kucingku) tentu saja amat sedih. Seperti kekasih yang dipisahkan dari orang yang dicintainya. Setiap tengah malam saya buka jendela dan memandang mereka yang tidur dekat jendela kamarku. Semuanya ada sepuluh ekor lebih, termasuk induknya, si Lala.
Kadang diantara mereka ada yang terbangun dan saya ketuk jendela, maka si Puppy yang sering bangun malampun menengok dan menghampiri dengan pandang bertanya, Mungkin bertanya dalam hati, apa saya haus dan minta diambilkan air minum. Saya selalu merasa sahabat kecilku itu bisa ikut merasakan kalau saya sedang sakit.
Namun yang paling mengharukan adalah bila mereka sedang makan, lalu saya sengaja membuka jendela kamar untuk melihat mereka sambil mengucapkan selamat makan. Demi mendengar jendela kamarku dibuka, mereka serentak menoleh, dan melihat wajah saya merekapun berlarian kecil kearahku. Duduk dan mundar mandir dibawah jendela kamar. Seakan penting sekali kehadiranku untuk mereka sambut, sampai mereka menghentikan sejenak acara makan siang dan makan malamnya. Setelah kami saling menyapa dengan dibatasi jendela, maka saya tutup lagi gordin dan jendela kamar. Kuintip, merekapun kembali ketempat piring makan dan melanjutkan acara makan yang tertunda akibat saya tongolkan wajah untuk menyapa. Betapa ikatan emosional kami sangat dahsyat bukan?
Kucing-kucing saya sebagian ada yang entah darimana datangnya. Mungkin kucing yang minggat dari rumah tuannya atau kucing yang tanpa rumah lalu mereka mampir kerumah dan lama-lama jadi betah, seakan rumahku ini cocok bagi rumah penampungan mereka yang tersesat itu. Sedangkan yang benar-benar saya pelihara sejak kecil adalah induknya, si Lala yang pendiam serta beberapa anak keturunannya. Lala itu sangat sayang pada saya. Sejak kecil sampai sekarang selalu dilaluinya dengan saya. Jadi saya hafal banget apa yang disukai dan tidak disukainya. Lala juga kucing yang tahu diri, selalu sabar menunggu waktu makan.
Dan dari si Lala inilah saya mendapatkan ponakan anak kucing yang lucu-lucu itu. Kitty, Selly,Molly,Cinta, Puppy dan yang lainnya. Maka hari-hari saya meski sepi tanpa teman bermain, selalu semarak karena kehadiran mereka ini. Kalau saya sedang serius membaca buku, mereka duduk menemani atau sekedar tidur-tiduran di dekatku. Namun adakalnya mereka bosan saya diamkan terus, dan mulailah cari perhatian dengan menggosok-gosokkan badannya ke kaki, atau mengeong seakan bertanya, “ kapan selesai sih baca bukunya ? nona?“
Dan saya tentu saja paham maksud kelakuan mereka itu. Maka saya tutup buku dan mulai bernyanyi untuk mereka. Mereka melongo saja atau sesekali ikut mengeong. Mungkin ingin mengatakan,
“ Oh, indahnya suaramu. Bagaikan buluh perindu. “
Atau mungkin “ Duh, jelek banget tuch suara, sakit nich kuping tajamku mendengarnya. Berhenti ah, duhai nonaku ! “
Sebagian dari kucing-kucing saya sudah pergi ke alam baqa. Biasanya karena sakit. Karena keluarga saya bukan orang kaya, maka tidak pernah khusus merawat hewan-hewan yang sakit ke dokter hewan.
Saya merawatnya sepenuh hati dirumah .Memang idealnya melihara hewan itu harus punya dana khusus perawatan ke dokter. Namun waktu saya masih sekolah dan belum banyak menghasilkan uang biasanya masih di bantu orang tua . Kadang saya membuat kerajinan tangan atau membuat puisi-puisi anak yang suka saya kirim ke majalah remaja. Honornya untuk jajan si pus hehe. Dan ayah saya yang bekerja sebagai tenaga pengajar bahasa asing tentu harus berhitung untuk berlangganan dokter hewan.
Setiap kali ada yang meninggal, saya selalu menangis. Apalagi kalau salah satu yang meninggal itu adalah yang paling tersayang, maka kesedihan saya bisa berminggu-minggu. Saya selalu menguburkan kucing-kucing yang mati dengan khidmat. Dihalaman belakang rumah itu adalah pusara kucing-kucing saya yang telah meninggalkan kami. Sampai sekarang kenangan pada beberapa pus saya yang udah mati itu tak pernah hilang dari ingatan. Merekalah yang selalu menemani hari-hari saya di masa kecil, tempat curhat, dan kalau saya sedang menangis mereka duduk mengelilingi sambil memandang bingung. Lalu mulai naik ke pangkuan sambil mengeong lembut seolah sedang menenangkan saya. Selain buku-buku , maka kucing-kucing saya adalah sahabat yang paling dekat. Karena nyaris duapuluh empat jam mereka ada didekat saya. Semoga arwah Lala dan dua anaknya yang sudah mati diterima oleh-NYA. Puusss… aku kangen padamu..
Kini sisanya tetap menjadi sahabat kecilku yang paling abadi. Tempatku bercerita. Akan ikut kemanapun saya pergi nanti. Tak terpisahkan. Dan akan begitu selamanya…semoga :)

Kamis, 04 November 2010

sahabat ku

wahai sahabat ku...

hari telah malam
dan aku tidak tertidur
aku tidak punya teman dekat , selain air mata ku
tidak punya teman dekat selain dirimu

wahai sahabat ku...

aku tak tahu apa yang harus aku tulis
biarkan diri ku mengalir di atas daun
jiwa yang diderai oleh rasa sakit
dan jiwa yang dikuatkan oleh cinta
yang membuat kepedihan menjadisebuah kelezatan
dan kesedihan menjadi kebahagiaan ...

Jumat, 29 Oktober 2010

puisi sahabat

hei sahabat ku...
aku ingin kehidupan itu menjadi agung dan indah. yang telah aku rasakan sejak aku bertemu dengan mudan aku yakin ada keabadian karena aku percaya pada wujudmu yang mampu memunculkan kekuatan yang tuhan janjikan pada ku sebagai mana matahari menumbuhkan bunga bunga di taman yang beraroma wangi nan harum seperti itulah rasa cinta yang abadi .......