Rabu, 24 November 2010

AKU DAN SAHABAT KECIL KU

Bertahun-tahun hidup bersama kucing peliharaan, membuat saya sedikit peka pada kebiasaan, dan apa yang sedang mereka rasakan lewat tingkah lakunya. Sejak kecil saya sudah memelihara kucing. Entah apa yang membuat saya suka pada hewan yang terkenal manja dan suka mencuri itu.
Seingat saya, didalam keluarga sendiri tak ada yang benar-benar suka pada hewan yang suka tidur itu. Ayah dan ibu bersikap biasa saja pada mereka. Tapi tetap menaruh perhatian pada makhluk berbulu lembut itu.
Kadang saya takjub pada ayah ibu dan kakak-kakakku, karena meskipun tak secara khusus menyukai hewan peliharaanku, tapi keluarga tak pernah benar-benar melarang saya untuk bergaul dengan kucing. Kadang mereka suka mengingatkan jam makan kucing-kucing peliharaan saya itu. Kecuali kakak perempuan saya yang memang benar-benar fobia. Kakak lelaki saya tergantung cuaca. Kadang perhatian, kadang masa bodo!
Tapi meskipun tak suka dengan kucing-kucing itu, sikap kelurgaku tak pernah berlebihan. Tak pernah menghukum berat kalau merasa terganggu. Misalnya dengan menyiram air panas seperti yang pernah dilakukan salah satu tetanggaku. Mungkin karena sudah terbiasa dengan kehadiran kucing-kucing peliharaan saya, akhirnya keluarga juga ikut-ikutan menganggap mereka sebagai bagian dari keluarga kami .Padahal kucing yang saya pelihara juga bukan kucing-kucing mahal. Melainkan kucing kampung biasa, namun bersih dan menggemaskan. Pernah sih kakak perempuan saya menghukumnya dengan membawanya pergi entah kemana induk kucing. Tapi toh lama-lama nyerah sendiri karena si pus tetap bisa balik lagi dengan sukses. Bravo pus ! :) )
Maka sampai sekarang, hidup saya tak pernah lepas dari hewan yang dianggap Dewa oleh masyarakat Mesir kuno itu. Bila saya kenang suka duka bersahabat dengan kucing-kucing itu, saya suka tertawa sendiri. Hati tiba-tiba diliputi kebahagiaan.
Betapa tidak, tiap kali bangun pagi, sahabat-sahabat kecil itulah yang kebetulan tidur sekamar dengan saya yang lebih dulu membangunkan. Subuh-subuh mereka sudah naik ke tempat tidur dan menjilat muka saya sambil mengeong kecil. Ada yang suka banget duduk di perut saya. Masuk dalam selimut, atau naik kepunggung.
Namun kenangan yang paling tak terlupakan adalah saat saya sedang sakit. Biasanya setiap kali saya sakit, sahabat-sahabat kecil itu langsung dipisahkan dariku. Tak boleh masuk kamar tidurku. Perasaan kami ( saya dan kucing-kucingku) tentu saja amat sedih. Seperti kekasih yang dipisahkan dari orang yang dicintainya. Setiap tengah malam saya buka jendela dan memandang mereka yang tidur dekat jendela kamarku. Semuanya ada sepuluh ekor lebih, termasuk induknya, si Lala.
Kadang diantara mereka ada yang terbangun dan saya ketuk jendela, maka si Puppy yang sering bangun malampun menengok dan menghampiri dengan pandang bertanya, Mungkin bertanya dalam hati, apa saya haus dan minta diambilkan air minum. Saya selalu merasa sahabat kecilku itu bisa ikut merasakan kalau saya sedang sakit.
Namun yang paling mengharukan adalah bila mereka sedang makan, lalu saya sengaja membuka jendela kamar untuk melihat mereka sambil mengucapkan selamat makan. Demi mendengar jendela kamarku dibuka, mereka serentak menoleh, dan melihat wajah saya merekapun berlarian kecil kearahku. Duduk dan mundar mandir dibawah jendela kamar. Seakan penting sekali kehadiranku untuk mereka sambut, sampai mereka menghentikan sejenak acara makan siang dan makan malamnya. Setelah kami saling menyapa dengan dibatasi jendela, maka saya tutup lagi gordin dan jendela kamar. Kuintip, merekapun kembali ketempat piring makan dan melanjutkan acara makan yang tertunda akibat saya tongolkan wajah untuk menyapa. Betapa ikatan emosional kami sangat dahsyat bukan?
Kucing-kucing saya sebagian ada yang entah darimana datangnya. Mungkin kucing yang minggat dari rumah tuannya atau kucing yang tanpa rumah lalu mereka mampir kerumah dan lama-lama jadi betah, seakan rumahku ini cocok bagi rumah penampungan mereka yang tersesat itu. Sedangkan yang benar-benar saya pelihara sejak kecil adalah induknya, si Lala yang pendiam serta beberapa anak keturunannya. Lala itu sangat sayang pada saya. Sejak kecil sampai sekarang selalu dilaluinya dengan saya. Jadi saya hafal banget apa yang disukai dan tidak disukainya. Lala juga kucing yang tahu diri, selalu sabar menunggu waktu makan.
Dan dari si Lala inilah saya mendapatkan ponakan anak kucing yang lucu-lucu itu. Kitty, Selly,Molly,Cinta, Puppy dan yang lainnya. Maka hari-hari saya meski sepi tanpa teman bermain, selalu semarak karena kehadiran mereka ini. Kalau saya sedang serius membaca buku, mereka duduk menemani atau sekedar tidur-tiduran di dekatku. Namun adakalnya mereka bosan saya diamkan terus, dan mulailah cari perhatian dengan menggosok-gosokkan badannya ke kaki, atau mengeong seakan bertanya, “ kapan selesai sih baca bukunya ? nona?“
Dan saya tentu saja paham maksud kelakuan mereka itu. Maka saya tutup buku dan mulai bernyanyi untuk mereka. Mereka melongo saja atau sesekali ikut mengeong. Mungkin ingin mengatakan,
“ Oh, indahnya suaramu. Bagaikan buluh perindu. “
Atau mungkin “ Duh, jelek banget tuch suara, sakit nich kuping tajamku mendengarnya. Berhenti ah, duhai nonaku ! “
Sebagian dari kucing-kucing saya sudah pergi ke alam baqa. Biasanya karena sakit. Karena keluarga saya bukan orang kaya, maka tidak pernah khusus merawat hewan-hewan yang sakit ke dokter hewan.
Saya merawatnya sepenuh hati dirumah .Memang idealnya melihara hewan itu harus punya dana khusus perawatan ke dokter. Namun waktu saya masih sekolah dan belum banyak menghasilkan uang biasanya masih di bantu orang tua . Kadang saya membuat kerajinan tangan atau membuat puisi-puisi anak yang suka saya kirim ke majalah remaja. Honornya untuk jajan si pus hehe. Dan ayah saya yang bekerja sebagai tenaga pengajar bahasa asing tentu harus berhitung untuk berlangganan dokter hewan.
Setiap kali ada yang meninggal, saya selalu menangis. Apalagi kalau salah satu yang meninggal itu adalah yang paling tersayang, maka kesedihan saya bisa berminggu-minggu. Saya selalu menguburkan kucing-kucing yang mati dengan khidmat. Dihalaman belakang rumah itu adalah pusara kucing-kucing saya yang telah meninggalkan kami. Sampai sekarang kenangan pada beberapa pus saya yang udah mati itu tak pernah hilang dari ingatan. Merekalah yang selalu menemani hari-hari saya di masa kecil, tempat curhat, dan kalau saya sedang menangis mereka duduk mengelilingi sambil memandang bingung. Lalu mulai naik ke pangkuan sambil mengeong lembut seolah sedang menenangkan saya. Selain buku-buku , maka kucing-kucing saya adalah sahabat yang paling dekat. Karena nyaris duapuluh empat jam mereka ada didekat saya. Semoga arwah Lala dan dua anaknya yang sudah mati diterima oleh-NYA. Puusss… aku kangen padamu..
Kini sisanya tetap menjadi sahabat kecilku yang paling abadi. Tempatku bercerita. Akan ikut kemanapun saya pergi nanti. Tak terpisahkan. Dan akan begitu selamanya…semoga :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar